Minggu, 31 Juli 2011

Menyegarkan Pemahaman Islam dan Politik

(Tanggapan Opini M Fajar Pramono dan Fathurrahman Yahya)

Saud El HujjajKetua Harian di Indonesian Islamic Business Forum (IIBF),

Political Analyst di Head Line Communication Indonesia

Perdebatan antara Muh Fajar Pramono (Republika, 29 Maret 2011) dan Fathurrahman Yahya (Republika, 28 April 2011) sungguh menarik perhatian saya secara pribadi, dan tentunya pemerhati politik di Indonesia pada umumnya. Keduanya saling mempertanyakan signifikansi mazhab lama dalam politik Islam, antara mempertahankan identitas “Politik Islam” atau sekadar sebagai “Islam Politik”.

Munculnya terminologi antara “Politik Islam” dan “Islam Politik” sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari periode modern pada peradaban manusia, yang mengatur hubungan antara penguasa dan yang dikuasai secara beradab. Secara orisinal, dalam sumber Islam otentik, kedua istilah tersebut tidak pernah kita jumpai. Sebab, medan pergulatan Islam pada masa Rasulullah Muhammad SAW lebih pada konteks hubungan masyarakat (al-mu’aamalah), keyakinan (al-iimaan), al-akhlaaq al-kariimah (character building), rekayasa dan konspirasi (al-makr), dan tidak pernah berbicara kekuasaan dalam konteks politik dan kerajaan. Meskipun saat itu telah ada kerajaan-kerajaan di luar Makkah dan Madinah.

Landasan ini pula sesungguhnya yang membuat Islam, sebagai sebuah ajaran, mampu beradaptasi melintasi batas-batas struktur kekuasaan model apa pun, dan dengan mudah sangat bisa masuk ke wilayah penetrasi kebudayaan manusia. Dalam konteks ini, saya ingin memberikan catatan atas perdebatan Politik Islam dan Islam Politik kedua penulis sebelumnya, dengan sebuah pertanyaan, apakah relevan saat ini kita membicarakan sebuah simbol Politik Islam dan Islam Politik di Indonesia?

Dalam pengamatan saya atas perkembangan politik nasional, sejak Pemilu tahun 1955 sampai Pemilu 2009, ada metamorfosis perilaku politik cukup ekstrem yang terjadi pada umat Islam. Pada level ini sesungguhnya, menurut saya, sudah tidak relevan lagi berbicara politik dalam konteks identifikasi simbolis Islam.

Metamorfosis Islam Indonesia

Clifford Geertz (1983), seorang ahli antropologi yang sangat terkenal dengan istilah trikotomi politik aliran di Indonesia, yang ia sebut dengan santri, abangan, dan priyayi, yang kemudian membaginya ke dalam empat aliran politik yang saling beririsan pada masa 1955, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI, telah menjadi rujukan utama bagi para pemerhati politik di Indonesia dalam melihat politik aliran di Indonesia.

Dalam konteks ini, kalau kita kembalikan kepada Geertz, sebagaimana ia mendefinisikan agama sebagai nilai-nilai budaya yang mengandung kumpulan makna, tempat setiap individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur perilakunya. Dan, dengan nilai tersebut, pelaku dapat mendefinisikan dunia dan pedoman apa yang akan digunakannya (Geertz, 1992b, 51). Maka itu, dapat dipahami bahwa perkembangan politik di Indonesia, sudah terlepas dari konteks trikotomi simbolis Geertz tersebut.

Artinya, perilaku budaya Islam telah mengalami metamorfosis sehingga menciptakan pengelompokan-pengelompokan baru dalam identitas simbolis masyarakat Islam. Begitu juga, dalam hal mendefinisikan “Islam Politik” ataupun” Politik Islam” di Indonesia, kita tidak bisa lagi menggunakan perspektif simbolis lama, akan pentingnya identitas partai Islam atau tidak.

Identitas politik, pada masa Orde Lama, memang sangat berpengaruh terhadap perolehan suara suatu partai. Sehingga suara partai sangat ditentukan oleh seberapa besar ia menempatkan diri dan komitmen dengan identitas tersebut. Kuntowijoyo (1995) pernah membagi periode Islam Indonesia dalam tiga tahap. Pertama adalah periode mistik. Kedua, periode ideologis. Dan, ketiga, periode ilmu.

Pada periode mistik, kesadaran seseorang sangat bersifat magis. Sehingga perilaku seseorang juga ditentukan oleh tingkat kesadaran tersebut. Ratu adil menjadi simbol utama masyarakat untuk keluar dari masalah yang ada, seperti kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan.

Periode ideologis terjadi pada masa perjuangan kemerdekaan sampai pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru. Pada masa inilah identitas ideologis Islam sangat terlihat. Sehingga untuk menilai seseorang pun cukup dengan pemikiran, tingkah laku, dan komunitasnya. Dalam konteks politik, tentu politik aliran yang menjadi orientasinya.

Pada masa periode ketiga adalah periode ilmu. Setiap orang mulai menggunakan pertimbangan ilmu pengetahuan dalam melihat dan menjalankan sesuatu. Melalui dunia pendidikan yang bebas ideologi, telah membuat mobilisasi vertikal dan horizontal masyarakat Indonesia. Sehingga tidak sedikit orang-orang dalam lingkaran abangan menjadi santri dan kelompok santri juga terlibat dalam komunitas abngan. Semua telah mengalami metamorfosis.

Sehingga wajar, dalam konteks sekarang, perolehan suara Partai Islam mengalami penurunan yang luar biasa. Bukan persoalan identitas dan simbol. Akan tetapi, masyarakat Muslim mengidentifikasi dirinya pada wilayah yang rasional, ilmiah, mulai menghitung kemanfaatan dan pragmatis. Dan, inilah salah satu ciri dari periode ilmu yang memobilisasi masyarakat secara vertikal dan horizontal sehingga terjadi metamorfosis identitas ideologis dalam masyarakat Indonesia.

Menurut hemat saya, masih ada satu periode lagi yang belum sempat diintroduksi oleh Kuntowijoyo sebelum beliau wafat, yaitu periode teknologi informasi. Pada periode ini, telah terjadi mobilisasi masyarakat melalui teknologi informasi dengan cara yang sangat cepat, terbuka, nyata terlihat di depan mata. Jarak menjadi sesuatu yang tak terbatas (borderless) lagi.

Dalam konteks politik, periode ini telah menggeser pola demokrasi deliberasi – yang mengandalkan keterwakilan dan lobi-lobi melalui partai politik atau kelompok kepentingan – menjadi demokrasi daring. Periode ini membuka lebar peluang rakyat untuk mengontrol langsung pemerintah dan membuka kesempatan untuk menggalang dukungan politik secara masif, cepat, dan dengan biaya yang tidak terlalu tinggi (Sunyoto Usman, 2010).

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai representasi kelompok Partai Islam, saat ini telah menegaskan dirinya sebagai partai terbuka dan orang non-Muslim dapat menjadi pengurus partai tersebut. Dalam acara Munas tahun 2010 di Yogyakarta kemarin, menunjukkan bahwa identitas ia sebagai Partai Islam telah mengalami metamorfosis ke tengah, terbuka dan inklusif. Terlepas dari beragam tafsir politik, kenyataannya PKS pun saat ini telah bermetamorfosis identitasnya.

Fenomena metamorfosis Partai Islam dan identitasnya, dalam kacamata periodesasi perilaku umat, sebenarnya hal yang biasa. Artinya, mereka yang mengalami mobilisasi sosial dengan sendirinya akan mengalami metamorfosis. Apalagi, saat ini didukung oleh suatu periode teknologi informasi. Suatu periode, di mana menurut Sunyoto Usman (2010) akan mendorong perubahan relasi-relasi kekuasaan yang lebih kompleks, dan kultur politik yang tidak lagi didominasi oleh ikatan-ikatan primordial dan nepotisme. Akan tetapi, lebih banyak diwarnai oleh nilai politik produk dari kecepatan informasi dan pengetahuan.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks kekinian, sesungguhnya simbolisme politik tidak akan lagi berpengaruh terhadap daya dukung konstituen. Orang mau menggunakan simbol atau kulit dengan warna Islam ataupun tidak, sungguh sedikit sekali pengaruhnya. Dengan perangkat teknologi informasi, orang tidak lagi tertarik pada wilayah kulit. Akan tetapi, secara otomatis mereka akan mencari isinya. Selama kulit dan isi tidak sesuai lagi, dengan cepat para konstituen tersebut akan memutuskan untuk tidak memilih dan ikut partai itu lagi.

Yang perlu dikembangkan saat ini, bagi partai pada umumnya dan partai Islam pada khususnya, adalah bagaimana membuka isinya (nilai-nilai) dengan sungguh-sungguh sehingga membuat konstituen tertarik. Bukan justru memoles kulitnya saja, namun isinya semakin dilupakan. Apabila hal ini yang terjadi, yaitu memoles kulit dan melupakan isi, apa pun cara yang digunakan partai tersebut, dengan cepat akan ditinggalkan para konstituennya.

0 komentar: